Yusril Ihza Mahendra (69) adalah sosok yang komplit. Ia bukan sekadar politisi, tapi juga akademisi tata negara bergelar profesor, advokat, sekaligus cendekiawan Islam yang disegani lintas generasi. Sejak masa Orde Baru hingga kini, kariernya seolah tak pernah padam. Hanya pada masa Presiden Joko Widodo (2014–2024) ia absen dari kabinet. Kini, di era pemerintahan Prabowo Subianto, Yusril kembali ke jajaran pemerintahan sebagai Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan.
Namun Yusril bukan hanya milik nasional. Ia juga menjadi simbol kebanggaan orang Melayu di pentas politik Indonesia. Tak banyak tokoh Melayu yang berhasil menapaki karier panjang dan stabil seperti dirinya. Maka tak mengherankan jika masyarakat adat Melayu menabalkan gelar kehormatan kepadanya sebagai tanda penghargaan atas kiprah dan jasa.
Pada Selasa, 28 Oktober 2025, Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepulauan Riau menganugerahkan gelar “Datok Seri Indra Narawangsa” kepada Yusril Ihza Mahendra. Penabalan berlangsung khidmat di Balairung Replika Istana Damnah, Daik Lingga. Gelar itu melambangkan penghormatan tertinggi kepada seseorang yang dianggap telah berjasa dalam menjaga nilai-nilai hukum, kebudayaan, dan persatuan bangsa.

Darah Melayu dan Jejak Johor-Lingga
Banyak yang belum tahu, darah Melayu mengalir kuat dalam diri Yusril. Dari garis ayahnya, Idris bin Haji Zainal Abidin, Yusril memiliki pertalian dengan Kesultanan Johor. Leluhurnya, Tengku Haji Mohammad Thaib, adalah bangsawan Johor yang jejak sejarahnya masih bisa ditelusuri hingga ke Pulau Lingga dan Pulau Penyengat, dua wilayah penting dalam sejarah Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang (1722–1824).
Dalam kunjungannya ke Lingga, Yusril didampingi adiknya, Yusron Ihza Mahendra, serta anggota keluarga besar lainnya. Mereka berziarah ke situs-situs bersejarah di Pulau Penyengat dan Pulau Lingga, bertemu dengan sejumlah keluarga yang memiliki hubungan kekerabatan. Perjalanan ini seperti menautkan kembali simpul sejarah yang lama terurai antara Belitung, Johor, dan Lingga.
Hubungan Belitung dan Lingga bukan hal baru. Secara geografis, kedua wilayah memang berdekatan, dipisahkan hanya oleh laut di antara Pulau Singkep dan Belitung. Kedekatan ini membuat hubungan sosial, budaya, dan ekonomi antara keduanya terjalin erat sejak lama.
Keduanya juga sama-sama dikenal sebagai penghasil timah dunia. Sejak masa Kesultanan Riau-Lingga, kolonial Belanda, hingga masa Orde Baru, penambangan timah di Singkep dan Belitung saling berkaitan. Belanda mendirikan NV Billiton Maatschappij di Belitung dan NV Sitem di Singkep. Para pekerja kerap berpindah antarwilayah, membentuk jejaring sosial dan budaya yang kuat termasuk hubungan kekerabatan antara masyarakat Lingga dan Belitung hingga kini.
Harapan dari Lingga
Kedatangan Yusril ke Daik Lingga menjadi hari istimewa bagi masyarakat setempat. Tokoh yang selama ini hanya mereka kenal dari layar televisi, kini hadir di tengah-tengah mereka bukan sebagai pejabat, tapi sebagai anak Melayu yang pulang ke akar budayanya.
Bupati Lingga, M. Nizar, menyampaikan harapan agar Yusril dapat memperjuangkan aspirasi masyarakat Lingga di tingkat nasional. Salah satunya terkait potensi tambang timah rakyat yang besar, namun terhambat persoalan izin dan aturan hukum. Dengan posisi strategisnya di pemerintahan, masyarakat berharap Yusril mampu menjadi jembatan yang membawa perubahan nyata bagi daerah mereka.
Bagi masyarakat Melayu, penganugerahan gelar adat bukan sekadar seremoni, melainkan simbol penghormatan, pengakuan, dan doa. Gelar diberikan kepada seseorang yang dianggap memiliki jasa besar dan keluhuran budi. Dalam tradisi Melayu, pemberian gelar juga mengandung makna “balas budi” menghargai seseorang yang telah menunaikan kebajikan dan memberi manfaat kepada masyarakat luas.
Raja Ali Haji dalam Tsamarat al-Muhimmah pernah menulis bahwa bakti dan jasa seseorang merupakan cerminan dari kebajikan. Maka memberikan gelar kehormatan kepada orang yang berjasa adalah lambang perbuatan mulia: tanda syukur dan penghargaan.
Gelar Datok Seri Indra Nara Wangsa yang diterima Yusril bukan hanya simbol adat, tapi juga peneguhan identitas. Ia menegaskan bahwa nilai-nilai keilmuan dan politik yang dijalankan Yusril selama ini sejalan dengan ruh budaya Melayu menjaga hukum, menegakkan marwah, dan memperkuat persatuan bangsa.
Bagi Yusril, gelar ini melengkapi penghargaan adat yang pernah ia terima sebelumnya. Pada tahun 2002, ia sudah dianugerahi gelar “Datuk Maharajo Palinduang”. Kini, dua dekade kemudian, gelar baru itu seakan menjadi penegasan atas perjalanan panjangnya sebagai intelektual dan tokoh kebangsaan yang tak lepas dari akar budayanya.
Dari garis ibunya, Yusril juga memiliki darah Minangkabau. Berasal dari Aia Tabik, Payakumbuh, Sumatra Barat. Sebelum menetap di Belitung, leluhurnya sempat bermukim di Pulau Singkep, wilayah yang kini termasuk Kabupaten Lingga. Jejak diaspora ini membuat perjalanan Yusril terasa bulat: ia kembali ke tanah asal yang menyatukan simpul-simpul sejarah keluarga dan kebudayaan Melayu.
Dalam diri Yusril Ihza Mahendra, kita melihat cermin perjalanan panjang seorang anak bangsa yang teguh menjaga akar dan tradisi, sekaligus melangkah jauh dalam panggung nasional. Dan kini, dengan gelar Datok Seri Indra Nara Wangsa, Yusril menjadi putra Melayu yang pulang dengan marwah, membawa nama bangsanya dengan hormat. **
