Prof. Dr. Haji R.A. Huzaifah Hashim (Kolej Antarabangsa DMDI University of Geomatika)
Pada abad ke-19, Kesultanan Riau-Lingga menghadapi tekanan besar akibat kolonialisme Belanda. Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1824 memisahkan Johor dan Riau-Lingga, menjadikan Pulau Penyengat sebagai pusat budaya dan agama Melayu. Dalam situasi penuh ancaman ini, Sultan Abdul Rahman II Muazzam Shah bersama para intelektual istana mencari strategi halus untuk melawan penjajahan.
Tahun 1892 lahirlah Rusydiah Club di Pulau Penyengat, sebuah organisasi modern yang berfungsi sebagai wadah intelektual dan pusat kebudayaan. Klub ini dinaungi langsung oleh Sultan Abdul Rahman II, dengan tokoh-tokoh utama seperti Raja Ali Kelana, Raja Khalid Hitam, dan Abu Muhammad Adnan. Nama “Rusydiah” berarti bimbingan, sedangkan “Club” menandakan adopsi format organisasi modern Barat.
Rusydiah Club memainkan peran penting dalam pengembangan pendidikan, penulisan, dan penerbitan. Mereka mendirikan sekolah, menggelar muzakarah agama, menulis syair dan hikayat, serta menerbitkan risalah politik dan keagamaan. Melalui percetakan seperti Mathba’at al-Riauwiyah dan Rumah Cap Kerajaan Lingga, lebih dari 190 judul karya diterbitkan dan diedarkan ke berbagai wilayah. Majalah Al-Imam dan Al-Ikhwan menjadi medium penting penyebaran gagasan reformis.
Jaringan Rusydiah Club tidak terbatas pada Riau. Mereka menjalin hubungan dengan ulama Mekah, gerakan Pan-Islamisme, hingga mengirim delegasi diplomatik ke Istanbul untuk mencari dukungan Utsmaniyah. Diaspora mereka meluas ke Singapura, Johor, Pahang, Aceh, dan Jawa. Pemikiran Rusydiah Club bahkan mempengaruhi lahirnya gerakan Kaum Muda serta sistem pendidikan madrasah modern di Nusantara.
Perlawanan mereka terhadap Belanda tidak dilakukan dengan senjata, melainkan melalui “jihad pena”. Literatur yang diterbitkan mengkritik penjajahan, adat kolot, serta kejumudan berpikir. Pada 1902–1903, Rusydiah Club juga menolak pengibaran bendera Belanda, yang dikenal sebagai insiden “isu bendera”. Residen Belanda sampai melabeli mereka sebagai verzetpartij (partai oposisi).
Namun, tekanan kolonial semakin kuat. Perjanjian politik 1905 membatasi kekuasaan Sultan, dan pada 1911 Belanda memakzulkan Sultan Abdul Rahman II. Pulau Penyengat dikepung, sementara Sultan melarikan diri ke Singapura. Sebelum jatuh ke tangan Belanda, istana dan dokumen penting dibakar. Dengan itu, Rusydiah Club pun berakhir bersamaan dengan runtuhnya Kesultanan Riau-Lingga.
Meski berakhir tragis, warisan Rusydiah Club sangat besar. Mereka dianggap sebagai organisasi modern Melayu pertama yang meletakkan dasar bagi nasionalisme melalui pena dan pendidikan. Tradisi penerbitan yang mereka bangun diteruskan di Singapura dan Pulau Pinang, sementara tokoh-tokoh mereka dikenang sebagai pelopor reformasi dan persuratan Melayu.
Konsep “jihad pena” yang mereka perjuangkan tetap relevan hingga kini. Rusydiah Club membuktikan bahwa ilmu, literasi, dan media dapat menjadi senjata ampuh melawan penjajahan. Warisan pemikiran mereka masih hidup dalam sistem pendidikan, wacana keagamaan, dan budaya Melayu-Islam modern. Dari Pulau Penyengat, gagasan itu menyebar ke seluruh dunia Melayu sebagai bagian penting dari sejarah peradaban dan identitas bangsa. **
