Lima warga Natuna ke Istana Negara. Sumber foto: https://khastari.dpk.kepriprov.go.id/koleksi/7G186

Pada 11 April 1955, sebuah tragedi udara mengguncang kawasan Asia. Pesawat Kashmir Princess, milik Air India yang disewa pemerintah Tiongkok, terbakar di udara akibat bom dan jatuh di perairan Bunguran Barat, Natuna. Pesawat itu membawa delegasi Tiongkok dan wartawan asing yang hendak menghadiri Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Dari 19 orang di dalamnya, hanya tiga yang berhasil selamat setelah berenang berjam-jam hingga mencapai sebuah pulau tak berpenghuni.

Di tengah peristiwa tragis itu, lima warga asal Sedanau, Natuna, tampil sebagai penyelamat. Mereka adalah Wan Saban, Said Hamzah, Wan Muchtasar, Tajun, dan M. Musa. Berkat keberanian dan keikhlasan mereka menolong para korban, nama Natuna seketika menjadi sorotan dunia. Kisah kemanusiaan ini bahkan menarik perhatian Presiden Soekarno yang kemudian mengundang kelimanya sebagai tamu kehormatan ke Istana Negara.

Momen bersejarah itu terabadikan dalam sebuah foto, saat lima warga Natuna berpose bersama Bung Karno dan sekretaris presiden. Undangan ke istana negara bukan sekadar penghargaan, melainkan juga pengakuan atas peran penting masyarakat perbatasan dalam peristiwa internasional yang berkaitan dengan KAA—konferensi yang menjadi tonggak solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika.

Kisah Kashmir Princess bukan hanya mencatat tragedi politik internasional akibat percobaan pembunuhan terhadap PM Tiongkok Zhou Enlai, melainkan juga menyingkap keberanian orang-orang sederhana dari Natuna. Di balik gemuruh politik dunia kala itu, ada kisah kemanusiaan dari sebuah pulau kecil di perbatasan Indonesia. Kisah inilah yang membuat nama Natuna tidak hanya dikenal sebagai titik terluar negeri, tetapi juga sebagai saksi sejarah dunia. **

Tinggalkan Balasan