Pulau Galang di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau kembali menjadi sorotan internasional setelah pemerintah Indonesia berencana menampung dua ribu pengungsi Gaza. Namun, hanya selemparan batu dari sana, Pulau Rempang tengah menghadapi ancaman penggusuran warganya demi ambisi pembangunan. Dua pulau ini menjadi cermin paradoks kemanusiaan Indonesia: lapang hati untuk dunia, namun sempit untuk rakyat sendiri.

Wajah Humanisme di Galang

Kali ketiga Pulau Galang menjadi panggung aksi kemanusiaan berskala internasional. Pada 1979–1996, pulau ini menampung sekitar 250 ribu pengungsi Vietnam korban perang saudara. Saat pandemi Covid-19, bekas kamp pengungsi diubah menjadi Rumah Sakit Khusus Infeksi (RSKI) yang menangani pasien dari berbagai daerah di Indonesia.

Tiga peristiwa itu mengukuhkan citra Indonesia sebagai bangsa yang peduli pada nilai kemanusiaan. Sejarawan Asvi Warman Adam (2012), menyebut keberhasilan penanganan pengungsi Vietnam sebagai salah satu pencapaian diplomasi terbaik Indonesia di ASEAN. Kepedulian itu menunjukkan bahwa politik luar negeri kita tidak hanya menargetkan perdamaian global, tetapi juga memberi ruang nyata bagi penyelamatan manusia lintas batas negara.

Galang dipilih bukan hanya karena strategis, dekat jalur pelayaran internasional dan memiliki lahan luas. Tetapi juga karena penerimaan hangat masyarakat lokal, termasuk warga Pulau Rempang. Kehadiran pengungsi Vietnam kala itu tidak memicu konflik, bahkan meninggalkan catatan indah kerja sama antara pemerintah dan masyarakat setempat.

Dua Pulau, Dua Dunia

Meski hanya dipisahkan Jembatan Tuanku Tambusai sepanjang 385 meter, kebijakan pemerintah di Pulau Galang dan Pulau Rempang bagaikan dua dunia yang bertolak belakang. Di Galang, pemerintah kembali tampil heroik, membuka pintu bagi pengungsi dari negeri jauh. Sementara di Rempang, ribuan warga yang telah mendiami tanah leluhur selama generasi justru dihadapkan pada ancaman penggusuran demi proyek Rempang Eco City.

Pertanyaannya sederhana namun menusuk: mengapa empati yang begitu luas diberikan kepada dunia luar, namun terasa sempit untuk rakyat sendiri? Situasi di Rempang kini bagai bara dalam sekam. Relokasi paksa mengancam ruang hidup masyarakat yang selama ini hidup damai dan pernah ikut menyambut pengungsi di masa lalu. Paradoks ini menampilkan dua wajah Indonesia: satu penuh simpati di panggung internasional, satu lagi seakan tuli terhadap jeritan rakyatnya sendiri.

Pulau Galang dan Pulau Rempang adalah dua titik kecil di peta, tetapi kebijakan yang berlaku di keduanya menjadi cermin wajah kemanusiaan Indonesia, baik di mata dunia maupun rakyatnya. Dari cermin itu, kita dihadapkan pada pilihan: menampilkan wajah utuh dan konsisten, atau membiarkannya retak oleh kontradiksi. Jika di Galang kita dikenang sebagai “pahlawan kemanusiaan”, di Rempang berpotensi lahir narasi “korban pembangunan”. Sejarah akan mencatat dua kisah yang kontras dalam wilayah yang hanya sepelemparan batu jauhnya.

Ironis bila di tanah yang sama, satu kelompok disambut sebagai tamu terhormat, sementara kelompok lain—yang justru warga negara sendiri merasa terusir. Kemanusiaan akan menemukan maknanya yang utuh jika perlakuan hormat kepada pendatang menjadi teladan untuk memperlakukan warga sendiri dengan lebih adil dan berperikemanusiaan.

Menentukan Pilihan Sejarah

Sejarah mengajarkan bahwa reputasi kemanusiaan dibangun bukan hanya dari sikap pada dunia luar, tetapi juga dari keberpihakan pada rakyat sendiri. Tidak ada yang salah dengan membantu Gaza; yang keliru adalah jika, pada saat bersamaan, negara mengorbankan komunitas yang sudah berakar ratusan tahun demi ambisi ekonomi semata.

Pemerintah masih punya kesempatan untuk memastikan Pulau Rempang tidak tercatat sebagai “luka kemanusiaan” dalam sejarah bangsa. Caranya: menempatkan warga sebagai subjek, bukan sekadar hambatan proyek. Dialog yang tulus, solusi yang adil, dan penghormatan pada hak ulayat adalah langkah awal yang harus ditempuh.

Jika Indonesia ingin mempertahankan reputasi sebagai bangsa berjiwa besar, konsistensi adalah kata kunci. Tidak cukup hanya ramah kepada tamu. Negara harus ramah, adil, dan melindungi rumah warganya sendiri. Pulau Galang dan Pulau Rempang adalah dua sisi sejarah kemanusiaan kita. Satu sisi telah mengharumkan nama bangsa, sisi lainnya kini menunggu keputusan: akankah menjadi simbol keberpihakan negara pada rakyatnya, atau bukti bahwa kemanusiaan dapat dikorbankan demi proyek besar. Pilihan itu ada di tangan kita semua, terutama pemerintah untuk memastikan sejarah berpihak pada kemanusiaan. **

Tinggalkan Balasan